D i g i t a l
F l o w e r

Digital Flower

newer post older post

h i a t u s -- but don't forget to write on the chat box


" arch - studet "

We can chatting here






Caramel Frappucino (Part: I)
14 Sep 2014 | 06.47 | 0Comment




Hi semua. Aku bikin cerpen lagi nih. Mulai bikinnya hampir seminggu yang lalu sih, tapi baru selesai malam ini karena kendala writer's block -_- Oh iya buat yang udah baca Pangeran Dari Utara part 1, aku minta maaf banget belum bikin kelanjutannya. Karena udah setahun ga buka blog jadi lupa lanjutin, huhu. Okay kalo gitu, selamat membaca ya ^^

Caramel Frappucino 

“Tolong Anda bereskan berkas-berkas ini ya, jangan pulang sebelum ini semua selesai”

“Oke, baiklah Pak”

“Saya mengandalkan Anda, Nona Yvonne”, Pak Direktur pun melenggang pergi mengambil  jas hitamnya dan bergegas pulang.

Sementara itu Yvonne hanya bisa menghela napas. Lembur lagi, lembur lagi pikirnya. Mau tidak mau, suka tidak suka ini merupakan tanggung jawabnya. Yvonne sedang menabung untuk biaya pernikahannya bulan depan dengan sang tunangan, Abigail. Mereka berdua berusaha keras agar tidak merepotkan kedua orang tua mereka, apalagi orang tua Yvonne bisa dibilang kebutuhan ekomoninya sangat pas-pasan.

Setelah meminum secangkir kopi hangat, Ia mulai menggulung rambut coklat hazelnutnya - tanda bahwa ia akan serius bekerja. Tangannya mulai meraih berkas-berkas yang diberikan Pak Direktur, yang diam-diam dipanggil Pak Bos Besar oleh Yvonne dan teman-temanya karena perutnya yang buncit itu. Selain itu mereka sebal karena Pak Bos Besar selalu membebankan pekerjaan melebihi jam batas kerja yang seharusnya.

Wanita 25 tahun itu bekerja menjadi asisten akuntan di sebuah perusahaan yang telah berdiri cukup lama. Setelah lulus dari kuliahnya tiga tahun yang lalu, dia memutuskan untuk magang di perusahaan ini, beruntungnya ia tetap di butuhkan sehingga menjadi pekerja tetap hingga sekarang.

Kriiing…Kriiing dering telepon terdengar dari tas kulit milik Yvonne

“Ah…ternyata Abigail”, ia segera mengangkat teleponnya.

“Sayang, kamu sudah pulang?”

“Belum Aby, Pak Bos Besar menyuruhku lembur lagi. Pekerjaan hari ini lumayan banyak. Mungkin aku pulang malam”

“Pak Tua sialan itu tidak lelah-lelahnya menyuruhmu bekerja terus, vonn. Lama-lama aku geram”

“Sudahlah sayang, ini kan demi kebaikan kita. Bukankah sebentar lagi kita akan menikah? Dengan begini kita tidak perlu merepotkan ibu dan ayah”

“Yvonne, kamu jangan terlalu sering memaksakan dirimu. Aku mampu membiayai semuanya, sungguh!”

“Tidak, Aby. Ini pernikahan kita berdua. Jadi harus kita berdualah yang menanggungnya”, Yvonne kemudian sedikit merenung dan terdiam.

“Halo….Yvonne? Ada apa?”, Abigail mulai khawatir.

“Ah….tidak. Hanya saja aku tidak ingin ini gagal untuk yang kedua kalinya, Aby. Aku mohon padamu”

“Tentu tidak, sayang. Bailah, kamu lanjutkan saja pekerjaanmu. I love you”

I love you too, Aby”, Yvonne mematikan handphonenya. “Gawat aku mulai mengingatnya lagi”, Ia menggeleng-gelengkan kepala dan bergegas membereskan pekerjaannya.

Tapi sore itu hujan sungguh deras dan langit begitu kelabu. Begitu juga dengan perasaan Yvonne, ada yang membuatnya terganggu. Yvonne paling benci jika harus mengingat kembali yang pernah terjadi dulu. Ya, saat pernikahan dengan mantan tunangan yang sebelumnya batal. Hal tersebut telah menimbulkan luka dan trauma akan pernikahan baginya. Oleh karena itu Ia tak ingin hal tersebut terulang. Yvonne begitu fokus dengan rencana pernikahannya kali ini.

Takut, mungkin begitu yang dia rasakan. Padahal seharusnya pernikahan adalah hal yang indah dan sakral. Momen dimana Ia dan Abigail akhirnya mempersatukan cintanya, membuat sebuah keluarga yang hangat, dan menciptakan tempat untuk pulang.

Masih jelas terbayang di ingatannya ketika Evan, sang mantan tunangan ternyata bermain wanita lain di belakangnya. Dan hal tersebut baru terungkap ketika semua persiapan pernikahan tengah dilakukan. Cincin, gaun putih, tuxedo yang mengkilap, kue pernikahan, bahkan undangan pun sudah disebar. Namun ternyata semuanya tak berakhir indah yang seperti Yvonne impikan. Pernikahan yang batal? Malu!

Laki-laki brengsek, batinnya. Ia sungguh tak mengira kesetiaannya harus dibayar seperti itu. Lima tahun berpacaran mungkin hanya sebuah alibi untuk menutupi sifat Evan kala itu. Yvonne sedikit menyesal mengapa Ia mudah termakan bualan manis yang Evan tawarkan. Ia selalu mengira bahwa Evan adalah jodohnya. Padahal kenyataannya bukan.

***
Lelah! Itulah yang Yvonne rasakan. Tubuhnya lunglai dan perutnya kelaparan. Sepertinya otaknya terlalu banyak bekerja sehingga asupan energinya habis dipakai untuk berpikir. Kaki-kakinya membawa pada sebuah café di pinggir kota, tempat Yvonne dan teman-teman biasa menghabiskan sore hari karena sangat dekat dari kantor.

“Selamat datang! Silakan, mau pesan apa?”, sapa pelayan yang bekerja di kasir dengan ramah.

“Saya pesan Caramel Frappucino dan Chocolate Lava Cake

“Ukurannya?”

“Hmmm mungkin Grande, saya agak lapar. Maklum baru pulang kerja”, kata Yvonne sambil tersenyum malu.

“Haha baiklah Nona, silakan tunggu di meja. Nanti pesanannya akan kami antarkan”.

Tiba-tiba terdengar sahutan dari seorang pelanggan dari kasir sebelah, “Ah! Aku juga mau Caramel Frappucino!”.

Reflek Yvonne menoleh ke arah orang itu. Matanya menangkap wajah yang dikenali, tapi dia lupa itu siapa. Lama Yvonne berdiri mengingat-ingat, barulah ia sadar. Bukan hanya itu! Ia gemetar! Karena panik, dia bergegas lari dan duduk di meja yang letaknya agak jauh dari kasir tadi.

“Gawat, pantas saja wajahnya sangat familiar! Itu pasti Matthew! Astaga apa yang dia lakukan disini?!”, teriaknya dalam hati sembari menutup wajah dengan majalah-majalah lama yang di pajang di meja.

Matthew adalah mantan pacarnya ketika SMA. Hubungannya dengan Matthew tidaklah lama seperti dengan Evan, yaitu kurang dari setahun. Tidak heran karena saat itu mereka masih SMA, masa-masa yang labil. Meskipun kejadian itu sudah delapan tahun berlalu, Yvonne masih menyimpan perasaan yang mengganjal tentangnya. Mungkin bisa dibilang perasaan bersalah.

Sementara itu Yvonne bimbang dan menghitung jemarinya, “Sapa, tidak, sapa, tidak, sapa? Aaaaahhh tidak semudah itu langsung menyapanya!”, Ia sangat ingin menyapa Matthew, namun sebagai wanita tentu saja ia mempunyai gengsi. Apalagi orang ini adalah mantan pacarnya. Tapi kalau tidak dilakukan sekarang pasti menyesal, pikirnya. “Kau pikir kapan lagi bertemu dia, vonn? Kontaknya saja kau tidak punya!”

Kemudian Yvonne menoleh ke arah kasir tadi, tapi Matthew sudah tidak ada. “HAH! Kemana dia?!”, Mata Yvonne berusaha menemukan batang hidung Matthew di sekeliling café namun tetap saja tidak ada. Sementara jantungnya terus berdegup kencang ia masih mencari. “Ketemu!”, ternyata Matthew sedang berjalan menuju pintu keluar.

“Ayo Yvonne, sapa dia!”, teriak hati kecilnya. “Yvonne, kamu ini wanita. Masa iya memulai duluan?”, tapi salah satu sisi di hatinya berkata begitu. Yvonne pusing, sungguh pusing. Namun Matthew tetap melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. “Tidak! Dia membuka pintu!”

“AAAAHHH, TUNGGU JANGAN PERGI MATTHEEEEWW!!”

Hening. Serempak semua pengunjung café terkejut dengan teriakan Yvonne tadi. Dan tentu saja Matthew berhasil dihentikan. Awalnya Matthew yang kaget hanya melongo dan menoleh ke arah sumber teriakan tersebut. Namun ia tertawa dan berjalan menuju Yvonne. Akhirnya semua orang di café pun ikut tertawa dengan tingkah hebohnya.

“Teriakan macam apa itu? Seperti walrus sedang melahirkan, kau tahu? Hahaha!”, Matthew tertawa terbahak-bahak dan mengambil kursi di depan meja Yvonne.

Wajah Yvonne merah padam seperti tomat. Ia tak mampu lagi berkata-kata saking malunya sehingga memilih untuk duduk kembali dan menutup wajahnya dengan majalah sampai suasana di café tenang.

“Sudahlah tidak apa-apa, orang-orang sudah berhenti menertawakanmu”, Matthew berusaha membujuk Yvonne agar berhenti menyembunyikan wajahnya, namun ia masih saja cekikikan sendiri.

“Jangan tertawa dong! Jahaaaaaat!”, Yvonne merengut kesal.

“Maaf-maaf habis kamu lucu sekali sih, dari dulu tidak berubah haha”, Matthew pun berusaha menahan tawanya. “Bagaimana kabarmu?”

“Baik, kamu sendiri gimana? Sedang apa disini, Matt?”, Yvonne memperhatikan Matthew dengan seksama. Dia sedikit berbeda dibanding waktu SMA dulu. Pria 26 tahun itu lebih jangkung dan bersih. Sekarang dia lebih keren mengenakan kemeja, celana panjang, serta pantofel yang mengkilap. Rambutnya juga tak awut-awutan seperti dulu. Ia terlihat lebih rapi.

“Aku juga baik. Kebetulan aku lewat sini, karena haus jadinya mampir sebentar untuk membeli minuman. Kamu sendiri sedang apa?”, balas Matthew sambil menyeruput Caramel Frappucino miliknya.

“Aku baru saja pulang lembur bekerja. Kantorku ada di dekat sini. Karena lelah, aku ingin istirahat sebentar. Sudah lama ya kita tidak bertemu”

“Ah benar. Sudah tujuh tahun aku kehilangan kontak denganmu”, kata Matthew.



Mereka saling terdiam. Pembicaraan itu membawa kembali pada kenangan delapan tahun yang lalu, saat mereka masih bersama. Tak banyak yang tahu bahwa mereka pernah pacaran. Bukan karena sengaja backstreet, hanya saja mereka tidak begitu suka  mengumbar-umbarnya.


(to be continued)

Posting Komentar